Dari Tukang Sapu Jadi Sarjana Cumlaude

Di sebuah klinik kecil di pinggiran Kota Bandung, terlihat seorang dokter muda dengan jas putih dan senyum ramah sedang memeriksa pasien lanjut usia. Tidak banyak yang tahu bahwa dokter ini dulunya adalah anak sopir angkot yang hidup dalam kemiskinan. Namanya dr. Farhan Ramadhan, Sp.PD, seorang spesialis penyakit dalam yang dikenal tak hanya karena keahliannya, mg 4d tapi juga karena kisah hidupnya yang luar biasa.

Mengharukan: Masa Kecil dalam Kekurangan

Farhan lahir di daerah Cicaheum, Bandung, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya seorang sopir angkot trayek Antapani – Ciroyom, dan ibunya membuka warung kecil di depan rumah kontrakan mereka. Hidup mereka serba kekurangan. Kadang harus berbagi satu piring nasi untuk dua anak. Sepatu bolong dan seragam tambal-sulam adalah hal biasa.

“Saya ingat betul bagaimana ayah hanya makan nasi dan garam supaya saya dan kakak bisa bawa bekal ke sekolah,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.

Suatu malam, saat Farhan kelas 4 SD, ibunya sakit keras dan tidak bisa dibawa ke rumah sakit karena tidak punya biaya. Ia hanya bisa menangis melihat ibunya mengerang kesakitan. Malam itu, ia berjanji pada dirinya sendiri: “Saya harus jadi dokter. Supaya orang seperti ibu saya tidak menderita karena miskin.”

Menggugah: Belajar dengan Lilin dan Fotokopian

Farhan tidak pernah ikut les. Tidak pernah punya laptop. Bahkan untuk membeli buku, ia harus menabung berbulan-bulan dari sisa uang jajannya. Ia belajar dengan buku pinjaman, sering menulis ulang karena tak mampu memfotokopi semua materi.

Saat listrik padam, ia belajar dengan lilin. Ia sering duduk di teras rumah tetangganya yang memiliki lampu terang agar bisa mengerjakan PR. Tak jarang, ia dihina karena bergaul dengan “orang susah”.

Namun, Farhan tidak pernah membalas hinaan. Ia hanya menjawab, “Saya mungkin miskin sekarang, tapi bukan selamanya.”

Ia selalu menjadi juara kelas, hingga mendapatkan beasiswa penuh di SMA unggulan di Bandung. Di sana, ia bertemu dengan guru-guru luar biasa yang menyadari potensi Farhan dan terus memotivasinya untuk tidak menyerah.

Menghebohkan: Lolos Fakultas Kedokteran di UI

Setelah lulus SMA, Farhan mendaftar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Banyak orang meragukannya. Biaya kuliah kedokteran terkenal sangat mahal, apalagi bagi anak sopir angkot.

Namun, Tuhan seolah menjawab doa-doanya. Farhan lolos seleksi SNMPTN tanpa tes—langsung diterima. Lebih ajaib lagi, ia mendapat beasiswa penuh dari pemerintah dan bantuan dari yayasan sosial yang terinspirasi kisah hidupnya.

Berita tentang “anak sopir angkot lolos FK UI dengan beasiswa penuh” menjadi viral. Media lokal dan nasional mulai meliput Farhan. Ia diundang ke berbagai acara televisi, namun ia tetap rendah hati.

“Saya tidak istimewa. Saya hanya anak biasa yang punya mimpi besar dan tak pernah menyerah,” ucapnya dalam satu wawancara.

Menginspirasi: Jadi Dokter Spesialis dan Mendirikan Klinik Gratis

Setelah 6 tahun penuh perjuangan, Farhan lulus sebagai dokter umum. Tapi ia tidak berhenti di situ. Ia lanjut mengambil spesialisasi penyakit dalam, dan kembali mendapat beasiswa karena prestasinya.

Kini, setelah resmi menjadi dokter spesialis, Farhan tidak memilih bekerja di rumah sakit mewah atau membuka praktik mahal. Ia justru membuka klinik sederhana untuk masyarakat kurang mampu di daerah tempat ia dibesarkan dulu: Cicaheum.

Klinik itu diberi nama “Klinik Ramah Sehat”, dan sebagian besar pelayanannya gratis atau dibayar seikhlasnya. Farhan juga rutin mengadakan penyuluhan kesehatan gratis di sekolah-sekolah dan masjid-masjid.

“Saya tahu rasanya tidak bisa berobat karena tak punya uang. Klinik ini adalah bentuk balas budi saya pada hidup,” katanya.

Tak hanya itu, Farhan juga mendirikan komunitas bernama “Anak Kampung Bisa Dokter” yang membimbing pelajar dari keluarga tidak mampu agar bisa lolos ke fakultas kedokteran. Ia menjadi mentor, pengumpul donasi buku, dan penyemangat bagi ratusan siswa dari seluruh Indonesia.

Penutup: Impian Tidak Punya Kasta

Kisah Farhan adalah bukti bahwa kemiskinan bukan penghalang untuk bermimpi. Ia membuktikan bahwa ketekunan, doa orang tua, dan semangat pantang menyerah bisa menembus dinding sosial yang membatasi banyak anak Indonesia.

Ia tidak hanya menjadi dokter. Ia menjadi harapan.

Dari anak sopir angkot yang belajar di bawah lampu jalan, ia kini menjadi inspirasi nasional yang mengobati dengan hati dan mengajar dengan kasih. Bagi Farhan, menjadi dokter bukan soal uang, tapi soal tanggung jawab pada janji masa kecil—janji yang lahir dari kesedihan dan tekad.

Dan kini, setiap kali ia mendengar pasien berkata “Terima kasih, Dok”, ia tahu satu hal: ia sudah sampai di tempat yang dulu hanya bisa ia bayangkan sambil menatap langit-langit rumah kontrakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *